Penulis : Febri Romadhon, Pendiri Forum Rakyat Bicara (FIRBA), Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UIR.
PEKANBARU – Fenomena politik Indonesia sedang tertuju pada pertarungan data antara pihak 02, 01, KPU, dan BAWASLU di Mahkamah Konstitusi. Pihak 02 yang dinyatakan kalah dalam perhitungan KPU di Pilpres 2019 melayangkan gugatan ke MK sebagai lembaga tinggi negara yang berwenang dalam menangani sengketa pemilu.
Konstitusi kita memang menjamin hak yang sama dimata hukum. Tapi ada yang perlu kita cermati dalam fenomena politik di Indonesia belakangan ini. Pesta demokrasi Indonesia usai digelar pada tanggal 17 April lalu bukan hanya panggung “Cebong dan Kampret” atau 01 dan 02 namun kini masih tetap berlanjut hingga ke meja sidang hakim MK.
Kita masih ingat tentang banyaknya petugas KPPS yang meninggal hingga mencapai 527 jiwa. Mereka bukan “Pahlawan Demokrasi” tapi yang lebih tepatnya mereka adalag “Korban atau Tumbal Demokrasi” Indonesia. Ini seharusnya menjadi pandangan serius bagi pemerintah sehingga kedepannya tidak terjadi lagi korban dari kesalahan penyelenggaraan sistem demokrasi. Sekarang berita ini seakan – akan hilang ditelan bumi, digantikan dengan berita Adu data antara Kampret, Cebong, dan Penyelenggara Pemilu di MK demi merebut “Kursi Kuasa Negara”.
Sampai dengan saat ini belum ada pihak yang menyatakan bertanggungjawab atas kejadian memilukan ini. Hak orang (Petugas KPPS yang meninggal) untuk hidup hilang setelah menjalankan tugas negara.
Didalam pasal 28 i ayat (4) UUD 1945 negara menjamin hak untuk hidup setiap warga negaranya. Artinya pemerintah dalam hal ini Presiden merupakan orang yang harus bertanggungjawab atas meninggalnya petugas KPPS tersebut. Presiden hanya menunjukan sikap normatif tentang masalah ini.
Febri Romadhon pengurus Forum Rakyat Bicara (FORBA) menyampaikan “Orang Indonesia mudah sekali teralihkan oleh kejadian – kejadian baru yang tidak begitu penting, seperti saat ini media sedang disibukan dengan berita adu data antara 01 dan 02, sedangkan ada masalah yang lebih penting yang harus menjadi perhatian serius stakeholder negara ini yaitu tentang kematian 572 petugas KPPS yang belum jelas tindak lanjutnya sampai saat ini, kejadian tewasnya 572 petugas KPPS bisa dibilang “pembunuhan” yang terstuktur dengan memanfaatkan sistem penyelenggaraan demokrasi, pemerintah yang membuat dan mengesahkan undang – undang tentang hal ini yang mengakibatkan korban harus bertanggungjawab penuh dan mencari solusi agar kejadian ini tidak terulang kebali, yang perlu kita sadari demokrasi bukan hanya alat untuk menggapai kursi kekuasaan, tapi demokrasi juga sebagai penjamin bahwa setiap orang mendapatkan haknya termasuk hak untuk hidup”.
Febri juga menghimbau kepada masyarakat dan stakeholder negara ini khususnya untuk tidak menutup mata akan kejadian ini, hal ini harus mendapat titik terang, hal ini harus mendaptkan solusi, apabila ada SOP nya yang salah maka harus diganti SOP nya, jika sistemnya maka harus ada yang dibenahi disistem tersebut. Dalam penutupnya Febri menyampaikan “Masalah ini harus menemui titik terangnya, apabila sistem demokrasi yang disuguhkan saat ini menghilangkan nyawa, maka kita harus rubah sistem itu, percuma sistemnya baik tapi banyak menghilangkan nyawa, sehingga harus ada tumbal dalam penerapannya”.