Catatan Tentang Jembatan Ratapan Ibu dari Waktu ke Waktu

Artikel587 Views

Penulis : Feni Efendi

Berbagai bentuk jembatan di lokasi Jembatan Ratapan Ibu ini sudah banyak didirikan. Mulanya sebagai tempat melompat ke seberang karena bantaran satu ke bantaran sebelahnya tidak begitu jauh. Dan ketika sedang tidak musim hujan, orang-orang zaman dulu menyeberangi Batang Agam cukup berjalan kaki saja. Kedalaman airnya sekitar setinggi betis. Dan tinggi permukaan air dengan bantaran tidak begitu tinggi, hanya sekitar 30 atau 50 centi. Dan sekarang memang sudah beda. Tinggi bantaran Batang Agam bisa mencapai 3 meter dan kedalamannya 3 meter pula.

Ketika masyarakat sudah mulai ramai antara kedua belah wilayah Batang Agam maka jembatan pun sudah mulai menggunakan pohon kelapa. Dan itu jauh sebelum Belanda memasuki Payakumbuh ini pada tahun 1832. Ada pun ketika Belanda telah memasuki Payakumbuh maka jembatan beton pun dibangun pada tahun 1836 dan selesai 1840.

Sebenarnya jembatan ini tidak memakai semen tetapi hanya pasir yang dicampur kapur. Dan pembangunan jembatan ini hampir bersamaan dengan Jembatan Situjuh dan Rantau Berangin yang kegunaannya untuk membawa kopi Situjuh yang paling dicari oleh dari berbagai belahan dunia saat itu. Dan karena kopi Situjuh ini diekspor melalui gudang-gudang di Bangkinang maka kopi Situjuh ini lebih terkenal dengan nama Kopi Bangkinang. Setidaknya begitulah yang dapatkan infonya dari penggiat dan pelestari Kopi Situjuh, Fadli Riansyah.

Pada masa Jepang tahun 1942-1945, serta masa agresi militer kedua Belanda tahun 1948-1949, dan juga pada masa PRRI tahun 1958-1961, jembatan ini lebih sering digunakan sebagai eksekusi manusia. Apakah itu pihak Indonesia yang dieksekusi Belanda ataupun Orang Dalam yang dieksekusi Pusat.

Setelah zaman sudah damai, jembatan ini lebih sering digunakan sebagai tempat pembuangan sampah rumah tangga. Dan jangan heran di tahun 1970-an, bau yang tidak sedap karena gunungan sampah berasal dari lokasi Tugu Jembatan Ratapan Ibu saat ini. Namun pada tahun 1980-an, Mardisun bersama kawan-kawan seperjuangan zaman revolusi dulu mengusulkan untuk membuat tugu di lokasi sekarang kepada Gubernur Sumatera Barat. Dan hal itu terkabulkan sehingga pemandangan di jembatan ini terlihat lebih asri. Apalagi ditambah dengan pembangunan taman seperti yang ada saat sekarang ini.

Feni Efendi, pencatat memori kolektif.