Bogor, Terasriau.com – ketua hakim Mahkama Konstitusi RI, Anwar Usman mengakui pemilihan umum tahun 2019 ini merupakan pemilu tersulit sepanjang sejarah pemilihan di Indonesia.
Hal itu dikatakannya usai membuka acara Pusdik Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusi bagi jurnalis se-Indonesia di Gedung Pusdik Mahkamah Konstitusi, Cisarua Bogor, Senin (22/4/2019) malam.
Ia menceritakan, penyelenggaraan Pemilu tahun ini merupakan pemilu paling sulit, bahkan tersulit di dunia.
Bagaimana tidak, dengan jumlah penduduk 255 juta jiwa dengan persentasi pemilih 190 juta jiwa menjadi pemilih paling banyak dan ditambah lagi dengan jangkauan belasan ribu pulau yang ada di NKRI, katanya.
“Bahkan pemilu kita tahun ini mengalahkan pemilu Amerika Serikat”
Saat mencoblos di Tempat Pemungutan Suara (TPS), ia mengaku cukup kesulitan. Sebab ada lima jenis surat suara yang harus dicoblos mulai dari surat suara pasangan calon presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota dan anggota DPD sekaligus dalam waktu bersamaan.
Ternyata memang fakta. Dan ini memang Pemilu luar biasa. Saya juga merasakan ketika masuk ke bilik suara kemarin, saya sendiri bingung. Ketika kertas memilih, waduh, belum lagi untuk DPRD nya, saya sendiri tidak kenal. Kebetulan saya memilih di wilayah Tangsel masuk Banten. Jadi dari tingkat kesulitan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika yang kita tahu sebagai mbahnya demokrasi,” sebutnya.
Ketua MK juga sempat menceritakan kegalauannya. Sebab dalam pelaksanaan Pemilu Serentak ini, tercatat sedikitnya 45 orang petugas KPPS dan 15 orang polisi meninggal dunia saat bertugas mengamankan penyelenggaraan Pemilu Serentak. Ia mengaku ikut berdosa. Sebab MK lah yang memutuskan agar Pemilu Serentak harus dilaksanakan di 2019. Padahal ketika MK mengeluarkan putusan, maka tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh.
“Saya menceritakan kegalauan saya. Dan saya tentunya merasa ikut berdosa karena saya ikut memutuskan. Kita semua bayangkan kalau tidak salah sudah 45 orang petugas KPPS dan 15 orang polisi yang meninggal dunia. Ini luar biasa,” urainya.
Salah satu pertimbangan MK dalam memutuskan Pemilu Serentak, katanya, demi efisiensi waktu dan anggaran. Sayangnya anggaran untuk pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 ini ternyata lebih besar yakni mencapai Rp35 triliun.
“Saya begitu pulang dari TPS, ternyata betapa sulitnya Pemilu. Tapi putusan hakim MK pun bukan firman Tuhan, konstitusi saja bisa diamandemen. Ternyata anggaran Pemilu ini sekitar Rp35 triliun, ini luar biasa,” tuturnya.
Namun begitu, ia tak ingin menyesali putusan yang telah dikeluarkan MK. Tentunya Pemilu kali ini akan menjadi bahan evaluasi ke depan. Dia juga berharap Pemilu terutama Pilpres tidak bermuara ke MK. Dia berharap siapapun nanti yang menang dalam Pemilihan Presiden bisa diterima masyarakat.
“Tapi sudahlah, ini sudah terjadi. Ini bahan evaluasi ke depan. Tugas berat menanti kami. Dan saya terus terang selalu berharap mudah-mudahan Pemilu ini terutama Pilpres tidak bermuara ke MK. Dan harapan kita semua siapapun yang diumumkan nanti pada 22 Mei oleh KPU, mudah-mudahan diterima.
Tentunya beban berat menanti MK pasca Pemilu Serentak ini. Sebab bukan tidak mungkin perselisihan hasil Pemilu terutama Pemilihan Presiden diajukan ke MK.
“Kalaupun itu terjadi semua pihak menerima, tentu itu kenyataan luar biasa dan meringankan beban MK. Tetapi kalau itu memang terjadi, kita tak mungkin lari dari kenyataan. Tapi tidak mungkin kita bisa melarang, karena itu hak konstitusional warga negara,” pungkasnya.
Ketua MK juga berharap agar wartawan bisa menyampaikan sebuah fakta atau kebenaran. Pemahaman konstitusional, lanjutnya, harus disampaikan ke seluruh lapisan masyarakat.