Napak Tilas 26 Tahun Reformasi, Mahasiswa di Riau Desak Ini ke Presiden Jokowidodo 

Napak Tilas 26 Tahun Reformasi, Mahasiswa di Riau Desak Ini ke Presiden Jokowidodo 

TERAS RIAU Pekanbaru -Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)  Universitas Sains dan Teknologi Indonesia (USTI) menggelar acara yang diberi tema” Napak Tilas 26 Tahun Reformasi”, kegiatan ini dilaksanakan di Aula YKR Kampus USTI , kecamatan Tuah Madani, Kota Pekanbaru- Riau, Pada Jumat 21 Juni 2024. Siang jelang sore WIB.

 

Ratusan Mahasiswa yang hadir dari 11 Universitas di Riau itu, mendesak Presiden Jokowidodo untuk menyelesaikan permasalah yang hari ini terjadi di Republik Indonesia ini.

 

Seperti dikatakan Presiden Mahasiswa USTI, Maulana Ikhsan kepada Awak Media ini,”Kegiatan ini terjadi karena kami mahasiswa jijik terhadap pemerintah hari ini dengan aturan yang mencekik masyarakat dan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) serta jelas  politik Dinasti yang merajalela,”Ucap Maulana Ikhsan kepada Awak Media ini dengan raut wajah memerah kehitam-hitaman, seperti seorang anak kecil ditampar Ayahnya, namun tidak bisa membalas.

 

Tidak hanya itu, BEM USTI melihat Pendidikan dan Kesejahteraan Masyarakat adalah aspek krusial dalam menjaga kemajuan Bangsa Indonesia. Maka, BEM USTI nyatakan sikap seperti diucapkan Maulana Ikhsan.

“Kami menyatakan sikap

Pertama, TOLAK TAPERA., kedua, TOLAK KENAIKKAN UKT., ketiga, SELESAIKAN KONFLIK AGRARIA dan ke empat atau terakhir kami MENOLAK MULTIFUNGSI ABRI,”jelas Maulana Ikhsan, Mahasiswa kelahiran Kabupaten Kampar ini.

 

Ribuan selebaran disebarkan dan dibagikan ke seluruh mahasiswa yang hadir pada acara tersebut, bertuliskan seperti dibawah ini

 

“Salam pembebasan

Hidup mahasiswa!!!

Hidup rakyat indonesia!!!

Hidup perempuan yang melawan!!!

Hari ini, kita berdiri di titik sejarah yang penting. Dua puluh enam tahun yang lalu, pada tahun 1998, Indonesia memasuki era baru yang dikenal dengan nama Reformasi. Peristiwa ini bukan hanya sebuah pergantian rezim, tetapi merupakan titik balik dari perjuangan panjang rakyat Indonesia untuk meraih kebebasan, keadilan, dan demokrasi yang sejati.

Reformasi lahir dari keberanian dan semangat juang para mahasiswa, buruh, petani, dan

seluruh rakyat yang menginginkan perubahan. Mereka yang turun ke jalan, menghadapi represi, dan dengan tegas menyuarakan aspirasi mereka, adalah pahlawan demokrasi kita.

Mereka adalah cerminan dari semangat perlawanan terhadap ketidakadilan dan

penindasan. Namun, saat kita mengenang perjuangan tersebut, kita juga harus bertanya:

sejauh mana cita-cita reformasi telah tercapai? Apakah keadilan sosial telah terwujud?

Apakah demokrasi kita semakin kuat? Apakah hak-hak dasar setiap warga negara telah

terpenuhi?. Kenyataannya, perjalanan reformasi masih panjang dan penuh tantangan.

 

Kita masih menyaksikan ketimpangan sosial, korupsi yang merajalela, dan pelanggaran hak asasi manusia. Demokrasi kita sering kali terancam oleh kepentingan sempit yang

mengatasnamakan kekuasaan.

Dalam sebulan terakhir kita terus dikejutkan dengan kebijakan kebijakan pemerintah yang

mencekik masyarakat, mulai dari kenaikan UKT yg ditunda hingga kebijakan Tapera yang cacat definisi, pernyataan Kemendikbud ristek tentang pendidikan tinggi bersifat tersier amat sangat menempati, negara seolah olah menegaskan bahwa rakyat miskin tidak dapat mengenyam pendidikan yg bagus, bahwa pendidikan tinggi hanya untuk mereka yang punya duit, negara mengkhianati amanat pembukaan UUD untuk mencerdaskan anak bangsa, betul memang kenaikan UKT ditunda namum bukan alasan kita untuk diam.

 

Jelas dalam Pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan menyatakan “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Bagaimana setiap warga negara dapat mendapatkan Pendidikan jika negara

menekan dengan kenaikkan ukt? Bahkan pada saat ini ada banyak mahasiswa yang putus kuliah karena kenaikkan ukt dan beberapa yang tidak jadi duduk di bangku kuliah.

 

Belum lagi jika kita bicara soal TAPERA yang katanya dibuat untuk kesejahteraan masyarakat, kebijakan yang secara nalar cacat definisi, bagaimana tidak rakyat diwajibkan menabung untuk pembangunan rumahnya, gaji mereka di potong sebesar 2.5% bagi pekerja perusahaan, dan 3% untuk karyawan mandiri belum lagi sanksi yang harus rakyat dapati jika tidak mengikuti program tersebut, dengan program tersebut negara sedang memalak rakyatnya dengan cara terstruktur, tersistematis dan terlegitimasi hukum.

Ditambah lagi Konflik agraria yang tiap tahunnya malah bertambah. Bedasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2022 ada 212 kasus yang terjadi dan meningkat sekitar 12% pada tahun 2023 menjadi 241 kasus. Hal ini membuktikan bahwa negara tidak mampu menyelesaikan konflik agrarian yang terjadi. Janji – janji yang terus ditebarkan hanya sebagai penenang sementara bagi rakyat seolah – olah konflik ini hanya menjadi hiasan dalam demokrasi yang mati. Rakyat yang terus menerus menjadi korban sementara perusahaan – perusahaan terus membangun kejayaannya diatas tanah yang diperjuangkan dengan darah.

Kepala Daerah yang seharusnya membela hak masyarakat daerahnya malah dengan sadar menjadi kacung bagi para mafia yang menyengsarakan rakyat. Belum lagi netralitas yang patut dipertanyakan dalam pilkada 2024 ini. Berdasarkan Pasal 9 UU ASN 5/2014 yang

menyebutkan bahwa ASN HARUS BEBAS DARI PENGARUH DAN INTERVENSI POLITIK tapi berdasarkan sikapnya malah condong ke paslon tertentu.

Apalagi yang sedang hangat di bicarakan soal dinasti politik yang di bangun oleh pemimpin memimpin negeri ini yang ingin meneruskan jejak perjalanannya dengan cara mengutus sanak kerabatnya, bayangkan jika suatu negara dipimpin oleh segelintir orang yang memiliki satu tujuan untuk mementingkan hawa nafsu dan kepentingan pribadinya, jikalau sampai

itu terjadi bahkan sampai melakukan Tindakan semena-mena dengan mengubah aturan aturan yang katanya untuk mensejahterakan kehidupan rakyat malah berbalik mencekik rakyat yang nyatanya sampai saat ini belum mendapatkan keadilan yang nyata.

Dimana kedudukan Pancasila sila ke lima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia“ jika pemimpin negeri ini masih condong ke yang atas tanpa memperhatikan kesejahteraan

kalangan bawah, yang rakyat harapkan kebijakan yang dibangun itu tidak berat sebelah tidak melemahkan rakyat yang sekarang ini ingin bersuara tetapi tidak di dengar.

Maka kita sebagai kaum intelektual harus mulai membangun kesadaran politik di tempat kita, harus terus merawat budaya perlawanan di kampus kampus kita, kitalah yang sedari

dulu menjadi garda terdepan dalam membawa perubahan. kita harus terus bergerak dan

melawan.

Dengan ini kita menuntut :

1. TOLAK KENAIKAN UKT

2. TOLAK PROGRAM TAPERA

3. PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA

4. NETRALITAS ASN DAN PERANGKAT DESA DALAM PILKADA

5. TOLAK POLITIK DINASTI

“Pemerintah pandai dalam satu hal: ia tau cara mematahkan kaki Anda, lalu memberi Anda tongkat dan berkata, ‘lihat, kalau bukan karena pemerintah, kamu tak akan bisa berjalan.

_Harry Brown”. Tulis selembar kertas itu.

 

Terakhir, Awak Media ini juga melihat boneka ribuan  tengkorak dan Kuburan untuk para pejuang reformasi yang telah gugur. (Krt)