Oleh : Alpin Jarkasi Husein Harahap, S.Kom
Jabatan :
– Koordinator Umum Lingkar Peduli Pemilu dan Demokrasi
– Ketua Bidang Organisasi
TERAS Riau Nasional -Kelompok mahasiswa yang mendapat legitimasi sosial sebagai gerakan Cipayung Plus melakukan pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Negara, Rabu (23/3/2022). Pertemuan tersebut nampak mewah dengan seragam batik (seragam khas nusantara). Namun sayangnya, kekayaan moral yang terkandung dalam seragam batik tersebut menjadi terdistorsi. Bilamana narasi atau gagasan yang disampaikan hanya sekedar kamuflase semata.
Adapun Kelompok Cipayung Plus yang bertemu dengan Presiden Jokowi kemarin adalah pentolan (ketua umum) masing-masing organisasi, yakni:
1. Raihan Ariatama, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI);
2. Jefri Gultom, Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI);
3. Muhammad Abdullah Syukri, Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII);
4. Benidiktus Papa, Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI);
5. I Putu Yoga Saputra, Ketua Umum Pengurus Pusat Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI);
6. Abdul Musawir Yahya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiah (DPP IMM);
7. Wiryawan, Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa Budhis Indonesia (PP HIKMAHBUDHI);
8. Muhammad Asrul, Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND);
9. Rafani Tuahuns, Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII);
10. Iqbal Muhammad Dzilal, Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (HIMA PERSIS);
11. Zaki Ahmad Rivai, Ketua Umum Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI); dan
12. Arjuna Putra Aldino, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI).
Berangkat kolektif dengan narasi minim terkait “Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN)”. Saya berharap di awal bahwa ada pesan moral kemanusiaan yang disampaikan kepada Presiden Jokowi sebagai bentuk tanggung jawab moral intelektual. Namun,,, justru kelompok tersebut yang mengatasnamakan Cipayung Plus meminta dirinya untuk dilibatkan dalam penindasan dan eksplorasi terhadap sumber daya alamat dan kemanusiaan atas nama mitra pembangunan. Akhirnya para intelektual kolektif tersebut beralih fungsi menjadi intelektual tukang yang berselingkuh dengan kekuasaan atas nama demokrasi dan kebebasan.
Peristiwa tersebut memberikan sinyal betapa memilukan nya Demokrasi yang kota anggap sebagai gerbang kebebasan yang kemudian berubah menjadi kebablasan. Batin Demokrasi menjerit-jerit tiada henti saat tubuhnya diperjualbelikan oleh para pembajak Demokrasi yang mengatasnamakan organisasi gerakan mahasiswa.
Kita harus belajar dari sejarah, bahwa Reformasi 1998 itu terjadi merupakan bentuk protes terhadap kekuasaan yang otoriter, kekuasaan yang berselingkuh dengan para pemilik modal. Kekuasaan yang berselingkuh dengan para oligarki. Dan gerakan tersebut di pelopori oleh kelompok pemuda khususnya Mahasiswa.
Batin Demokrasi terpuruk melihat perangai amoral, tuna empati, tuna spiritual sekawanan intelektual tukang yang menghamba pada kekuasaan.
Laporan: BHP