Membentuk Karakter dari Ombak Teknologi untuk Generasi Z

Otomotif26 Views

Dari TikTok ke Etika Digital: Mengarahkan Arus Teknologi Menjadi Lautan Kepribadian bagi Generasi Z

Dinda, seorang remaja Indonesia biasa, sedang berusaha keras untuk fokus menyelesaikan tugas kelompok. Namun, setiap kali jarinya berhenti mengetik, notifikasi TikTok dan Instagram selalu mengajaknya “mampir” seperti teman yang sulit dilupakan.

Setiap kali menggesek, waktu berlalu, dan tiba-tiba Dinda menyadari bahwa hidupnya lebih diisi oleh algoritma daripada buku pelajaran. Terdengar seperti hal yang biasa?

Banyak generasi Z seperti Dinda, dunia digital adalah tempat tinggal mereka, tetapi rumah ini bisa memengaruhi kepribadian mereka, atau justru membuat mereka tenggelam. Jadi, bagaimana cara kita beradaptasi dengan teknologi tanpa kehilangan identitas diri?

Paradoks Generasi Z: Mahir Teknologi, Tapi Mencari Nilai Jadi Kesulitan Paradoks Milenial Z: Cakap dalam Teknologi, Namun Menghadapi Tantangan dalam Menemukan Nilai Ketidakseimbangan Generasi Z: Terampil dalam Teknologi, Tapi Kesulitan dalam Mencari Makna Kontradiksi Generasi Z: Ahli Teknologi, Tapi Kesulitan dalam Menemukan Nilai Pertentangan Generasi Z: Mahir Teknologi, Tapi Menghadapi Tantangan dalam Mencari Nilai

Generasi Z Indonesia (yang lahir setelah 1997) dikenal sebagai “penduduk digital”. Mengedit video 15 detik? Mudah. Menghafal lirik lagu viral dalam sehari? Ahli. Mencari jawaban kuis di Google lebih cepat daripada membuka buku? Mahir.

Namun, di balik kemampuan luar biasa ini, terdapat sisi gelap yang membuat orang tua dan guru khawatir: minat baca yang hanya sepotong-sepotong, perasaan yang mudah goyah akibat bullying online, hingga nilai kejujuran yang mulai menghilang di era AI ini.

Data Kemdikbud 2024 membuat orang terkejut: 68% siswa SMA mengakui pernah mencontek tugas dengan menggunakan chatbot tanpa berpikir panjang, dan empat dari sepuluh remaja merasa stres karena tekanan “harus sempurna” di media sosial.

Namun jangan salah, teknologi bukan hanya menjadi penghalang, tetapi juga bisa menjadi pintu emas untuk membentuk kepribadian, asalkan kita tahu cara menggunakannya: bukan dengan memblokir, melainkan dengan mengarahkan.

Teknologi Bukan Lawan: 3 Cara Menarik Mengubah Arus Menjadi Energi

Pertama, Dari Scroll Jadi Soul: Literasi Digital, “Kitab Suci” Generasi Z. Bayangkan alur Instagram tidak hanya penuh dengan tantangan tarian, tetapi juga konten #JujurItuKeren dari siswa SMA Negeri. Di sekolah tersebut, guru mengajak siswa membuat reels tentang kejujuran, misalnya, “Jika chatbot memberikan jawaban yang salah saat ujian online, kamu akan memilih apa?” Program dari Sekolah Penggerak Kemdikbud ini meningkatkan kesadaran etika digital sebesar 52% dalam 6 bulan. Keren, bukan? Teknologi menjadi “guru diam-diam” yang mengajarkan nilai-nilai melalui cara yang disukai Generasi Z. Ada aplikasi Digital Character Tracker yang memberikan umpan balik langsung, contohnya: “Hari ini kalian sudah tiga kali memuji teman di grup WA. Tetap lakukan!”

Kedua, Kelas Terbalik, Karakter Jadi Juara: TikTok Jadi Guru Sementara. Di sebuah SMP Terpadu, metode pembelajaran terbalik mengubah cara belajar karakter secara signifikan. Siswa menonton video empati selama 60 detik di rumah (dibuat oleh guru dengan gaya TikTok) lalu di kelas mereka membahas kasus nyata: “Bagaimana merespons teman yang di-bully di grup chat?” Hasilnya, 90% siswa lebih berani melindungi korban cyberbullying, menurut survei sekolah. Ini menunjukkan bahwa teknologi bisa memanfaatkan perhatian singkat Generasi Z menjadi keunggulan. Konten tanggung jawab dalam 60 detik, podcast toleransi selama 15 menit, atau game etika, semuanya menggunakan bahasa yang sangat dipahami oleh Gen Z.

Ketiga, Orang Tua + Algoritma: Pasangan Tak Terduga Bangun Benteng Karakter. Ibu Siti kaget ketika mengetahui anaknya menonton konten yang tidak pantas di YouTube. Namun, setelah mengikuti pelatihan Digital Parenting, dia mengubah pengaturan kontrol orang tua menjadi kesempatan untuk berdiskusi: “Ayo tonton bersama, lalu kita bahas nilai-nilai apa yang bisa dipetik.” Platform Keluarga Digital sangat membantu, orang tua menerima pemberitahuan jika anak terlalu sering mengakses konten negatif, serta panduan berbicara yang tidak membuat anak merasa takut. Teknologi bukan lagi menjadi tembok, melainkan jembatan yang menghubungkan keluarga dan sekolah dalam membangun karakter.

Hati-Hati di Lautan: Teknologi Bisa Membantu, Bisa Juga Menyakiti Hati-Hati di Laut: Teknologi Dapat Membantu, Namun Juga Berbahaya Waspadalah di Laut: Teknologi Bisa Berguna, Bisa Juga Merugikan Hati-Hati di Laut: Teknologi Bisa Memberi Bantuan, Bisa Juga Menyerang Hati-Hati di Lautan: Teknologi Bisa Membantu, Tapi Juga Bisa Melukai Hati-Hati di Laut: Teknologi Bisa Menjadi Penolong, Bisa Juga Menjadi Ancaman Hati-Hati di Laut: Teknologi Bisa Membantu, Namun Juga Bisa Menyebabkan Bahaya Hati-Hati di Laut: Teknologi Bisa Memberikan Bantuan, Bisa Juga Menimbulkan Risiko

Namun, jangan lupa: teknologi memiliki dua sisi. Ada siswa yang berani melakukan peretasan akun guru hanya untuk mendapatkan nilai, bukti bahwa tanpa 10drama.com moral, teknologi hanya akan membuat kita kehilangan arah. Oleh karena itu, literasi digital harus didasari oleh nilai-nilai lokal yang kuat, seperti sangkan paran (Jawa) atau adat basandi syarak (Melayu).

Program Penguatan Profil Pelajar Pancasila Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini menjadi nyata: siswa di Bali membuat digital story mengenai Tri Hita Karana, siswa Aceh merancang aplikasi toleransi berbasis adat. Teknologi tidak menggantikan karakter, tetapi menjadi cermin yang menunjukkan siapa kita sebenarnya.

Ke Lautan Karakter: Mari Berlayar Bersama!

Setelah Dinda menyelesaikan tugas kelompoknya (tanpa menggunakan AI), ia menyadari: teknologi tidak menentukan siapa kita, tetapi pilihan yang kita ambil. Pesan untuk Gen Z? Kalian bukan budak algoritma, kalian adalah kapten perahu sendiri. Caranya bagaimana?

1) Sekolah memanfaatkan smartphone sebagai alat untuk mengembangkan karakter, bukan sebagai musuh. 2) Orang tua menjadi “pembimbing digital”, bukan hanya melarang penggunaannya. 3) Pemerintah mendukung Sekolah Penggerak hingga ke daerah terpencil. 4) TikTok dan Instagram bekerja sama dengan Kemdikbud membuat filter edukasi.

Penutup: Teknologi + Harapan = Masa Depan

Bayangkan situasi berikut: sekelompok siswa SMA membuat podcast tentang kejujuran di era AI. Suara mereka gemetar, bukan karena takut, melainkan penuh semangat untuk memberikan inspirasi. Generasi Z tidak kehilangan identitas; mereka sedang mencari metode baru untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut.

Teknologi ibarat pisau, bisa melukai atau membantu, tergantung pada siapa yang menggunakannya. Dalam tangan Generasi Z yang didampingi oleh kasih sayang dan kebijaksanaan, teknologi dapat menjadi “pemicu” untuk menjadi generasi yang jujur, kritis, dan peduli.

Jadi, bukan “Bagaimana menghentikan arus teknologi?” tetapi “Bagaimana kita berselancar bersama, sambil menjaga lampu karakter tetap menyala?”

Selamat berlayar, Gen Z.

Dunia menunggu kapal Anda!

Leave a Reply