Kepala LLDIKTI, Calon Guru Besar Harus Pernah Dapat Hibah Dikti Atau Membimbing Disertasi

Pekanbaru, Terasriaucom – Kepala Lembaga Layanan Perguruan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah X Prof Dr H Herri, SE, MBA menegaskan bahwa terhitung Januari 2019 calon guru besar harus pernah mendapat hibah penelitian dari Dikti minimal Rp 100 juta, atau pernah membimbing disertasi mahasiswa doktoral (S3) disamping persyaratan lainnya.

Penegaskan itu disampaikan Herri saat menyampaikan pokok fikirannya terkait layanan LLDIKTI dalam Rapat Koordinasi, Konsolidasi Program dan Dialog Peningkatan Layanan LLDIKTI Wilayah X dengan Anggota APTISI Wilayah X-B di Auditorium Gedung Rektorat Universitas Islam Riau Jalan Kaharudin Nasution Pekanbaru, Senin (17/12).

Dialog yang diikuti Pimpinan PTS se Riau itu, antara lain dihadiri Rektor UIR Prof Dr H Syafrinaldi, SH, MCL, Wakil Rektor II Ir Asrol, Ketua Dewan Pembina YLPI Drs H Mukni, Ketua APTISI Riau dr H Zainal Abidin, Sekretaris APTISI Dr Adolf Bastian MPd, Prof Dr Detry Karya dan Prof Dr Yusri Munaf SH, MHum.

Menurut Herri, persyaratan terkait pernah mendapat hibah Dikti atau pernah membimbing disertasi merupakan ketentuan lama. Namun belum diberlakukan oleh Pemerintah. Tapi terhitung 1 Januari 2019, Dikti telah memberlakukannya disamping persyaratan-persyaratan lain. ”Ini tidak berlaku bagi calon guru besar yang sedang dalam proses atau yang akan diajukan sebelum tanggal 31 Desember tahun ini. Jadi cepat-cepatlah Bapak dan Ibu yang persyaratannya sudah lengkap tapi belum diajukan,” kata Herri sedikit bercanda.

Dikatakan, perguruan tinggi harus membuat program percepatan pengajuan guru besar agar kualitas lembaga pendidikan makin membaik. Saat ini, ujarnya, di LLDIKTI Wilayah X terdapat sekitar 6000 dosen bergelar doktor. Ada yang progres akademiknya baik tetapi tidak sedikit yang stagnan. Terhadap mereka yang stagnas ini, ”Saya akan berdialog dengan mereka dan bertanya kenapa tidak ada progres. Apa masalahnya. Kalau masalahnya pada scopus, buat sajalah tulisannya dahulu. Soal bahasa Inggris nanti kita pikir belakangan,” kata Herri.

Pihaknya memang banyak mendengar keluhan bahwa salah satu yang membuat scopus menjadi momok di kalangan dosen adalah masalah bahasa. Walau tak membantah bahasa faktor kesulitan, tapi faktor tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk tidak menulis di jurnal terindeks scopus. (rls)